Dibawah ini, akan saya ceritakan sebuah kisah pilu. Cerita yang menyayat hati dan memantik siapa saja yang membaca meneteskan air mata.
Dikisahkan, sepasang pria dan wanita yang telah sah menjadi pasangan hidup memiliki seorang buah hati bernama Ita. Akan tetapi karena kesibukan mereka berdua, maka mereka menyerahkan pengasuhan anak kepada pembantu.
Diusia balita, gadis kecil itu gemar mencoba-coba hal yang baru. Tentu saja hal itu lumrah mengingat ita masih anak-anak. Suatu waktu saat ayah dan ibunya kerja, Ita bermain mencorat-coret tanah dihalaman dengan batang sapu lidi tanpa pengawasan pembantu. Saat pengasuhnya sedang sibuk menjemur pakaian dekat garasi.
Bosan mengukir tanah dengan lidi, Ita pun mencari-cari mainan yang lain. Ditemukanlah paku berkarat tak jauh dari tempat ia melukis tadi. Daya imaginasi dan rasa ingin tahunya membuat ia ingin mencoba hal yang baru dengan benda yang belum lama ia dapatkan. Dilihatlah mobil hitam ayah yang kebetulan jarang dipakai kerja. Tak lama berselang, mobil baru itu telah dipenuhi gambar hasil kreativitas ita menggunakan kuas paku berkarat.
Saat sang ayah tiba, dengan penuh rasa bangga ita memamerkan kepada beliau karya yang tadi ia lukis di body mobil. Alih-alih mendamba sanjungan dari orang tua tercinta yang selama ini kurang membeeri perhatian padanya, ita malah mendapat kemarahan besar dari bapaknya. Setelah pembantu diamuk nafsu amarah ayah karena lalai menjaga anaknya. Lantas lelaki tersebut menghukum Ita.
Demi alasan kedisplinan. Sang orang tua tidak merasa cukup meluruskan kesalahan anaknya dengan ucapan nasehat. Ita pun tidak lepas dari pukulan sang ayah. Pukulan demi pukulan tak henti-henti menimpa dua tangan mungil balita tersebut. akibat emosi yang lepas kontrol. Tidak hanya dengan tangan, mistar, ranting dan lidi juga dijadikan alat untuk menyakiti buah hatinya.
Menjerit-jerit, Ita memohon kepada bapaknya untuk menghentikan pukulan. “Ampun, Bah! Sakit..... sakit, ampun!” teriak ita sambil menangis dan menahan rasa perih ditangan yang sudah mulai mengeluarkan darah. Walaupun tidak ikut menyiksa anaknya, sang ibu justru diam. Seolah-olah sepakat dengan tindakan irasional suaminya.
Puas memukuli tangan tak berdosa. Si bapak menyuruh babby sitter memboyong ita kedalam kamarnya. Diselipi perasaan iba dan pilu, ia mematuhi perintah majikan menggendong ita menuju tempat tidurnya.
Sore hari pun tiba. Tatkala dimandikan, ita menjerit-jerit kesakitan akibat luka yang terkena air. Tak butuh waktu lama bagi bakteri untuk menginfeksi tangan mungil itu. Esok harinya tangan ita sudah membengkak. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, meskipun telah dikabari oleh pengasuh ita. Kedua orang tua balita itu tetap berangkat kerja seperti biasa tanpa menaruh perhatian lebih kepada sang anak yang tengah menderita. Bahkan ketika suhu bada ita meninggi, mereka hanya menyuruh pembantu untuk mengolesi tangan ita dengan salep.
Waktu terus berjalan dan haripun berganti sementara belum ada tanda-tanda tangan ita sembuh. Malah semakin membengkak dan membusuk mengeluarkan nanah akibat tidak ditangani medis secara optimal. Ketika dilapori pembantu perihal keadaan buah hatiyang semakin buruk. Kedua orang tua yang amat sangat sibuk bekerja itu hanya berpesan agar pembantu memberi ita obat penurun panas. Sampai pada suatu waktu, saat suhu tubuh gadis kecil itu mencapai titik maksimum, itapun mulai mengigau tidak sadar. Disaat demikian barulah ayah dan ibunya memiliki kesadaran untuk segera melarikan ita ke rumah sakit.
Nasi telah menjadi bubur. Hasil diagnosa dokter menyatakan bahwa tangan ita telah membusuk sedemikian parah hingga tak dapat lagi diobati. Amputasi hanya satu-satunya solusi untuk menyelamatkan nyawa Ita. Hal itu dilakukan agar pembusukan tidak menyebar ke organ tubuh yang lain.
“Tidak ada jalan lain... ini sudah bernanah dan membusuk, agar bisa diselamatkan tangan anak bapak harus dipotong!”. Ujar dokter kepada orang tua balita malang itu. Bagai disambar petir, sekonyong-konyong kabar itu membuat ayah ibu ita menangis sejadi-jadinya. Penyesalan mendalam dan rasa bersalah langsung mencuat saat itu juga. Diiringi rasa berat hati dan tangisan, ditanda-tanganilah surat persetujuan tindakan amputasi atas kedua tangan buah hati yang paling dicintai mereka.
Selesai operasi dan efek obat bius mulai sirna, ita terbangun meski rasa sakit belum hilang. Kebingungan melihat ke dua tangan terbungkus kain putih, ita pun mulai bertanya-tanya. Apalagi disampingnya, tiga orang yang dicintainya yaitu ayah, ibu dan pengasuh tampak menangis tersedu-sedu.
Terbata-bata, ita memanggil kedua orang tuanya. “Mamah, abah, ita tidak akan melakukan itu lagi”!. “Ita sayang abah, mama, juga bibi, Ita minta ampun sudah merusak mobil abah!” mendengar permintaan maaf tulus anak yang amat mereka kasihi, mereka samakin pilu lalu menangis sejadi-jadinya.
“Bah, ita mohon kembalikan tangan ita sekarang, untuk apa diambil? Ita janji tidak lagi-lagi nakal mencoret mobil abah!”. “Bagaimana jika nanti itu main dengan teman karena tangan ita sudah diambil?” Abah ... Mamah, tolong kembaliin, pinjam sebentar saja. Ita mau menyalami Abah, Mamah dan Bibi untuk mohon maaf!”
Sampai disini akhir cerita ita dan ke dua orang tuanya serta pembantunya. Mudah-mudah kita bisa mengambil pelajaran dari kisah ini. Agar tidak ada lagi ita-ita lain yang menangis merengek meminta tangannya kembali. Jujur saat menulisan ulang cerita dalam gaya bahasa yang berbeda, penulis ingin menangis rasanya. Tak tega melihat gadis mungil tak berdosa menderita akibat kesalahan orang tua yang tidak bertanggung jawab. Padahal diberbagai belahan dunia, banyak pasangan suami istri yang mendamba kelahiran anak penerus keturunan.[1]
disalin dari blog TS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar